Etika Politik Dan Nilai Dalam Pancasila
Etika Politik Dan Nilai
Dalam Pancasila
Etika adalah cabang
ilmu filsafat yang secara khusus membahas masalah baik dan buruk. Sedangkan
menurut filsuf Yunani besar Aristoteles
(384-322 SM) berrati ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan. Dalam Kamus umum Bahasa Indonesia yang lama
(Poerwardaminta, sejak 1953) etika dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan tentang
asas-asas akhlak (moral). Jika kita
melihat dari kamus besar Bahasa Indonesia yang baru (KBBI,edisi ke-1, 1988),
disitu etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk dan tentang hal dan kewajiban moral (akhlak)
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenan dengan akhlah
3. Nilai mengenai benar dan salah yang
dianut suatu golongan atau masyarakat.
Etika sebagai salah
satu ruang lingkup filsafat menurut Will Durant (dalam Hamdani Ali, 1990: 7-8)
merupakan studi mengenai taingkah laku yang terpuji yang dianggap sebagai ilmu
pengetahuan yang nilainya tinggi. Menurut Socrates, bahwa etika sebagai
pengetahuan tentang baik, buruk, jahat dan mengenai kebijaksanaan hidup.
Etika berkaitan dengan
norma moral, yaitu norma untuk mengukur betul salahnya tindakan manusia sebagai
manusia. Dengan demikian, etika politik mempertanyakan tanggungjawab dan
kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan
hanya sebagai warga negara terhadap negara hukum yang berlaku dan sebagainya.
Dalam pelaksanaan
negara, etika politik menurut Frans Magniz Suseno (1987:155) menuntut agar
kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai asas legalitas (Legitimasi hukum),
secara demokrasi (Legitimasi demokrasi) dan dilaksanakan berdasarkan prinsip- prinsip moral (legitimasi
moral). Pacasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki 3 dasar. Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan
yang menyangkut publik, pembagiaan maupun kewenangan harus berdasarkan legitimasi
moral religius serta moral kemanusiaan dalam pelaksanaan dan penyelengaraan
negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan.
Etika politik
membahas hukum dan kekuasan. Prinsip
prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu
negara adalah adanya cita cita the rule of law, partisipasi demokratis
masyarakat, jaminan HAM menurut kekhasan paham manusia dan struktur kebudayaan
masyarakat masing masing dan keadaan sosial.
Aktualisasi
Pancasila sebagai dasar etika tercermin dalam sila-silanya sebagai berikut.
1. Sila Pertama:
menghormati setiap orang atau warga negara atas berbagai kebebasannya dalam
menganut agama dan kepercayaannya masing-masing serta menjadikan
ajaran-ajarannya sebagai panutan untuk menuntun maupun mengarahkan jalan
hidupnya.
2. Sila Kedua: menghormati setiap orang dan warga
negara sebagai pribadi (persona) “utuh sebagai manusia”, manusia sebagai subjek
pendukung, penyangga, pengemban serta pengelola hak-hak dasar kodrati,
merupakan suatu keutuhan dengan eksistensi dirinya secara bermartabat.
3. Sila Ketiga: bersikap dan bertindak adil dalam
mengatasi segmentasi-segmentasi atau primordialisme sempit dengan jiwa dan
semangat “Bhineka Tunggal Ika”, yaitu bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam
persatuan.
4. Sila Keempat: kebebasan, kemerdekaan, kebersamaan,
dimiliki dan dikembangkan dengan dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan
secara jujur dan terbuka dalam menata berbagai aspek kehidupan.
5. Sila Kelima: membina dan mengembangkan masyarakat
yang berkeadilan sosial yang mencakup kesamaan derajat (equality) dan
pemerataan (equity) bagi setiap orang atau setiap warga negara (Putri, 2012:
1-8).
Sila-sila dalam
Pancasila merupakan suatu kesatuan integral dan integrarif menjadikan dirinya
sebagai referensi kritik sosial kritis, komprehensif serta sekaligus faluatif
bagi pengembangan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun
bernegara. Konsekuensi dan implikasinya ialah bahwa norma etis yang
mencerminkan satu sila akan mendasari dan mengarahkan sila-sila lain.
Aktualisasi pancasila sebagai dasar
etika tercermin dalam sila sila yang terdapat dalam pancasila yang merupkan
satu kesatuan integral dan integratif menjadikan dirinya sebagai referensi
kritik sosial kritis, komprehensif serta sekaligus faluatif bagi pengembangan
etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara.
Kebebasan akademik adalah hak dan
tanggungjawab seorang akademisi. Hak dan tanggungjawab itu terikat pada susila
akademik sebagai berikut :
1. Curiositti, dalam artian terus-menerus
mempunyai keinginan untuk mengetahui hal-hal baru dalam perkembangan ilmu
pengetahuan, tidak mengenal titik henti yang dampak dan pengaruhnya dengan sendirinya juga
terhadap perkembangan etika.
2.
Wawasan luas dan mendalam dalam arti bahwa nilai-nilai etika sebagai norma
dasar bagi kehidupan suatu bangsa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
tidak terlepas dari unsur-unsur budaya yang hidup dan berkembang dengan
ciri-ciri khas
yang membedakan dengan bangsa-bangsa yang lainnya.
3.
Terbuka, dalam arti luas bahwa kebenaran ilmiah adalah sesuatu yang tentatif,
bahwa kebenaran ilmiah bukanlah sesuatu yang hanya sekali ditentukan dan bukan
sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat, yang mengimplikasinya ialah bahwa
pemahaman suatu norma etika tidak hanya tekstual melainkan juga kontekstual untuk diberi makna
baru sesuai dengan kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat.
4.
Open mindedness, dalam arti rela dan dengan rendah hati ( modeste ) bersedia
menerima kritik dan pihak lain terhadap pendiri atau sikap intelektualnya.
5.
Jujur, dalam arti menyebutkan setiap sumber atau informasi yang diperoleh dan
pihak lain dalam mendukung sikap dan manfaatnya.
Sesuai
dengan tuntutan dasar etika politik, pancasila mempunyai lima prinsip yaitu :
1. Pluaralisme
Merupakan
kesediaan dalam menerima pluralitas, artinya hidup dengan positif, damai,
toleran, dan normal dalam masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama,
budaya, dan adat istiadatnya.
Pluralisme
berimplikasi pada pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir,
kebebasan mencari informasi, dan toleransi.
2. Hak
Asasi Manusia
Manusia
harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu,
hak-hak asasi manusia, baik utlak maupun kontekstual sebagai berikut :
a. Mutlak
karena setiap manusia memilikinya dari pemberian Sang Pencipta.
b. Kontekstual
karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, diambang modernitas
dimana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat atau tradisi dan sebaliknya
diancam oleh negara modern.
3. Solidaritas
Bangsa
Memiliki
makna bahwa manusia hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan
menyumbangkan sesuatu bagi hidup-kehidupan manusia yang lainnya. Solidaritas
manusia berkembang dalam lingkaran sosial, yaitu keluarga, kelompok etnis-suku
bangsa-agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia, termasuk di dalamnya
adalah rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran sosial
tersebut dapat dihayati dalam kaitannya dalam keterbatasan tiap-tiap anggota masyarakat.
4.
Demokrasi
Prinsip
“Kedaulaan Rakyat “ menyataan tidak ada manusia elit atau sekelompok ideologi
berhak untuk menentukan dan memaksa orang lain. Demokrasi berdasarkan kesadaran
bahwa mereka berhak menentukan siapa yang berhak memimpin mereka dan kemana
mereka mau dipimpin. Jadi,
demokrasi
memerlukan sebuah sistem yang menerjemahkan kehendak masyarakat dalam tindak
politik.
5.
Keadilan Sosial
Keadilan
merupakan norma moral yang paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Moralitas
masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Tuntutan keadilan sosial
tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksana ide-ide,
ideologi-ideologi, agama- agama tertentu, keadialan sosial tidak sama dengan
sosialisme. Keadilan sosial adalah
keadilan yang terlaksana.
Dalam kenyataan, keadilan sosial diusahakan membongkar
ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Ketidakadilan adalah
diskriminasi di semua
bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.
Komentar
Posting Komentar